Hukum
Mendel dan Penyimpangan Semu Hukum Mendel
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dahulu
orang menduga sifat seseorang ditentukan oleh sperma pria pendapat tersebut
gugur setelah diketahui bahwa baik sperma maupun ovum mempunyai andil yang sama
dalam menentukan sifat seseorang. Sifat-sifat organisme diwriskan dari induk
kepada keturunannya melalui gen. Baik induk jantan maupun betina mempunyai
kemungkinan yang sama dalam mewariskan sifat-sifatnya. Keturunannya mewarisi
separuh sifat dari induk jantan dan separuh sifat dari induk betina. Sifat
tersebut dibawa oleh gen yang terdapat dalam kromosom.
Sifat
yang dibawa oleh gen disebut faktor genentik atau faktor pembawaan atau genotipe. Tidak semua sifat bawaan atau
genotipe dapat tampak sebagai gejala. Genotipe akan dipengaruhi oleh lingkungan
sehingga menampilkan sifat yang tampak, yang disebut fenotipe. Perubahan sifat
karena pengaruh faktor lingkungan dikenal sebagai modifikasi.
Hukum
pewarisan Mendel adalah hukum mengenai pewarisan sifat pada organisme yang
dijabarkan oleh Gregor Johann Mendel dalam karyanya 'Percobaan mengenai
Persilangan Tanaman'. Hukum ini terdiri dari dua bagian, yaitu Hukum pemisahan
(segregation) dari Mendel, juga dikenal sebagai Hukum Pertama Mendel, dan Hukum
berpasangan secara bebas (independent assortment) dari Mendel, juga dikenal
sebagai Hukum Kedua Mendel.
Prinsip-prinsip
yang ditemukan oleh Mendel diterima secara umum, namun penelitian-penelitian
berikutnya sering menemukan perbandingan fenotipe yang aneh, seakan-akan tidak
mengikuti atau terjadi penyimpangan semu terhadap Hukum Mendel.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana mempelajari hukum Mendel I?
2. Bagaimana mempelajari hukum Mendel II?
3. Bagaimana penyimpangan semu dari hukum
Mendel?
C.
Tujuan
1. Untuk mempelajari hukum Mendel I
2. Untuk mempelajari hukum Mendel II
3. Untuk mengetahui penyimpangan semu dari
hukum Mendel
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum
Mendel
Telah
diketahui bahwa gen yang terdapat pada kromosom di dalam nukleus merupakan
pengendali faktor keturunan pada makhluk hidup. Gen berfungsi menyampaikan
informasi genetik kepada generasi berikutnya. Oleh karena itu, setiap keturunan
akan mempunyai fenotip maupun genotip yang hampir sama atau hasil campuran
sifat-sifat induknya. Sifat yang dapat diamati disebut fenotip, misal warna,
bentuk, ukuran, dan sebagainya. Sifat yang tidak dapat diamati disebut genotip
berupa susunan genetik suatu individu.
Genetika
adalah ilmu yang mempelajari pewarisan sifat dari induk kepada keturunannya.
Pewarian sifat itu ternyata mengikuti pola-pola tertentu. Orang yang pertama
kali mengadakan percobaan tentang pewarisan sifat adalah Gregor John Mendel,
(Syamsuri, 2007: 109).
Gregor Johann Mendel (1822–1884)
merupakan seorang biarawan berkebangsaan Austria, yang berjasa besar dalam
memperkenalkan ilmu pengetahuan tentang pewarisan sifat atau disebut genetika.
Hukum genetika yang diperkenalkan Mendel dikenal dengan hukum I Mendel dan
hukum II Mendel. Dari penemuannya ini, Mendel dikukuhkan sebagai “Bapak Genetika”, (Sembiring dan
Sudjino, 2009: 118).
Pada
1857, Gregor Johann Mendel mulai mengadakan penelitian tentang pola pewarisan
sifat pada tanaman ercis (Pisum sativum).
Pada 1866, Mendel menyampaikan hasil penelitiannya kepada kalangan ilmuwan. Ia
menemukan bahwa semua ciri makhluk hidup diturunkan berpasangan (gen sealel).
Ia juga menemukan bahwa biasanya hanya satu ciri dari pasangan tersebut yang
menjadi sifat yang tampak (gen dominan). Saat itu, Mendel belum mengetahui DNA
dan kromosom dalam sel serta menyebut gen-gen yang bertanggung jawab terhadap
suatu ciri makhluk hidup sebagai unit hereditas. Dua hal yang dikemukakan
Mendel merupakan dasar bagi genetika, ilmu tentang pewarisan sifat makhluk
hidup. Akan tetapi, entah karena tidak dipahami atau tidak disetujui, saat itu
penelitian Mendel terabaikan, (Firmansyah, dkk, 2009: 85).
Selama
delapan tahun (1856–1864) Mendel melakukan penelitian persilangan pada tanaman
ercis atau Pisum sativum (kacang
kapri). Mendel memilih tanaman ercis untuk percobaannya sebab tanaman ercis
masa hidupnya tidak lama hanya berkisar setahun, mudah tumbuh, memiliki bunga
sempurna sehingga terjadi penyerbukan sendiri yang akan menghasilkan galur
murni (keturunan yang selalu memiliki sifat yang sama dengan induknya), dan
mampu menghasilkan banyak keturunan.
Tanaman ercis memiliki
tujuh sifat dengan perbedaan yang mencolok seperti berikut:
1. Batang tinggi atau kerdil (pendek).
2. Buah polongan berwarna kuning atau
hijau.
3. Bunga berwarna ungu atau putih.
4. Letak bunga aksial (sepanjang batang)
atau terminal (pada ujung batang).
5. Biji masak berwarna hijau atau kuning.
6. Permukaan biji bulat atau berkerut.
7. Warna kulit biji abu-abu atau putih.
Mendel
melakukan penelitian tentang pewarisan sifat pada tanaman ercis. Penggunaan
tanaman tersebut merupakan pilihan tepat. Gambar berikut memperlihatkan
beberapa ciri tanaman ercis yang diamati Mendel, (Firmansyah, dkk, 2009:
85-86).

Gen untuk sebuah karakter khusus yang
diwarisi, seperi warna bunga pada kacang ercis, terletak pada sebuah lokus
(posisi) tertentu dalam suatu kromosom tertentu pula. Seangkan alel-alel
merupakan varian dari gen tersebut. Pada kasus ini, gen warna bunga hadir dalam
dua versi, alal untuk bunga ungu dan alal untuk bunga putih. Pasangan kromosom
homolog yang diiluustrasikan di sini mewakili sebuah hibrid F1 yang mewarisi alal untuk bunga ungu dari satu
induk dan alel untuk bunga putih dari induk lain, (Campbell, 2002: 258).
Genotipe adalah sifat atau karakter yang
ditentukan oleh gen. Ada yang menyebut genotipe sebagai faktor bakat atau
bawaan. Genotipe bersifat menurun dan diwariskan kepada keturunannya. Akan
tetapi pengaruh genotipe tidak selalu tampak seab sangat bergantung pada
lingkungannya. Sifat yang tampak dari luar disebut fenotipe. Fenotipe merupakan
paduan antara genotipe dengan lingkungannya. Dalam diagram persilangan, sifat
genotipe biasanya ditampilkan dalam bentuk simbol huruf. Contohnya, genotipe B
untuk tumbuhna berfenotipe buah bulat. Jadi, B adalah genotipe sedangkan
‘bulat’ adalah fenotipe, (Syamsuri, 2007: 109).
Faktor determinan (gen) disimbolkan oleh
sebuah huruf. Huruf yang umum digunakan adalah huruf pertama dari suatu sifat.
Contoh R merupakan gen
yang menentukan warna merah (R dari kata rubra artinya merah) dan r adalah gen yang menentukan warna
putih (alba). R ditulis dengan huruf besar karena warna merah yang dibawa oleh
gen R bersifat dominan terhadap warna putih yang dibawa gen r. Sifat dominan
mengalahkan sifat resesif, (Sembiring dan Sudjino, 2009: 118).
Genotip suatu individu biasanya bersifat
diploid (2n) sehingga diberi simbol dengan dua huruf yang sama. Sifat suatu
individu yang genotipnya terdiri atas gen-gen yang sama dari tiap jenis gen
misalnya RR, rr, AABB, aabb disebut homozigot.
Sifat suatu individu yang genotipnya terdiri atas gen-gen yang berlainan dari
tiap jenis gen disebut heterozigot,
misalnya Rr, AaBb, dan sebagainya, (Sembiring dan Sudjino, 2009: 119).
Hibrid merupakan perkawinan dua individu
yang mempunyai sifat beda. Berdasarkan banyaknya sifat beda individu yang
melakukan perkawinan, hibrid dibedakan sebagai berikut:
a. Monohibrid,
yaitu suatu hibrid dengan satu sifat beda (Aa).
b. Dihibrid,
yaitu suatu hibrid dengan dua sifat beda (AaBb).
c. Trihibrid,
yaitu suatu hibrid dengan tiga sifat beda (AaBbCc).
1.
Hukum
I Mendel
Hukum
Mendel I dikenal sebagai “Hukum
Segregasi”. Selama proses meiosis berlangsung, pasangan-pasangan kromosom
homolog saling berpisah dan tidak berpasangan lagi. Setiap set kromosom itu
terkandung di dalam satu sel gamet. Misalnya, induk Mm akan menghasilkan gamet
M dan m. Prinsip demikian ini dikenal sebagai prinsip segregasi secara bebas.
Dengan demikian setiap sel gamet hanya mengandung satu gen dari elelnya. Pada
waktu fertilisasi, sperma bersatu secara acak dengan ovum untuk membentuk
individu baru. Hukum Mendel I dapat dikaji dari persilangan monohibrid, yaitu
persilangan dengan satu sifat beda, 9Syamsuri, 2007: 110).
Hukum
Mendel I diperoleh dari hasil perkawinan monohibrid, yaitu persalingan dengan
satu sifat yang berbeda. Mendel melakukan persilangan antara tanaman ercis yang
berbiji bulat dengan tanaman ercis yang berbiji kerut. Hasilnya semua keturunan
F1 berupa tanaman ercis berbiji bulat. Selanjutnya dilakukan persilangan antar
keturunan F1 untuk mendapatkan F2. Pada keturunan F2 didapatkan perbandingan
fenotip kira-kira 3 biji bulat : 1 biji berkerut.
Contoh sebagai berikut:
P
: BB x bb
(Parental; induk)
(Biji bulat) (Biji keriput)

F1 : Bb
(Filial; keturunan) (Biji bulat)
F1 x F1 : Bb x Bb
(Bulat) (Bulat)
Gamet : B B
b b

Perbandingan
fenotip bulat : berkerut = 3 : 1
Perbandingan
genotip BB : Bb : bb = 1 : 2 : 1
Pada
satu percobaan, Mendel menyilangkan tanaman ercis dan biji kuning dengan
tanaman dari biji hijau. Kedua biji tanaman tersebut merupakan galur murni,
didapat dari individu dengan sifat asli dan murni. Galur murni didapat dengan
mengawinkan individu dengan sifat sama yang dinginkan berkali-kali. Tanaman
galur murni tersebut disebut P1 atau parental (induk) pertama. Keturunan hasil
persilangan disebut F1 atau filial (generasi) pertama. Semua F1 persilangan
tersebut adalah biji kuning, (Firmansyah, dkk, 2009: 86).
Untuk
mengetahui generasi selanjutnya, Mendel menanam biji kuning dari F1. Tanaman
tumbuh dan dewasa, melakukan penyerbukan sendiri, dan menghasilkan keturunan
F2. Hasilnya biji dengan sifat warna hijau muncul kembali pada generasi F2.
Dari 8.023 biji F2 yang dihasilkan, Mendel menemukan bahwa 6.022 biji adalah
kuning dan 2.001 biji lainnya adalah hijau. Hal tersebut menghasilkan perbandingan
biji kuning dan hijau sebesar 3:1, (Firmansyah, dkk, 2009: 87).

Dari hasil percobaan
tersebut, Mendel mencatat dua hal penting.
a) Sifat warna biji hijau menghilang pada
generasi F1, namun muncul kembali pada generasi F2.
b) Ketika sifat warna biji hijau muncul
kembali, sifatnya sama dengan biji P1.
Berdasarkan hasil perkawinan yang
diperoleh dalam percobaannya, Mendel menyimpulkan bahwa pada waktu pembentukan
gamet-gamet, gen akan mengalami segregasi (memisah) sehingga setiap gamet hanya
akan menerima sebuah gen saja. Kesimpulan itu dirumuskan sebagai hukum I Mendel yang dikenal juga dengan hukum Pemisahan Gen yang Sealel,
(Sembiring dan Sudjino, 2009: 119).
Macam dan jumlah gamet dapat ditentukan
dengan menggunakan rumus. Rumus untuk jumlah gamet = 2n dan n = jumlah gen heterozigot,
(Sembiring dan Sudjino, 2009: 120).
Beberapa
kesimpulan penting dari perkawinan monohibrid di atas sebagai berikut:
a) Semua individu F1 memiliki sifat yang
seragam.
b) Jika dominan nampak sepenuhnya, individu
F1 memiliki fenotip seperti induknya yang dominan.
c) Pada waktu individu F1 yang heterozigot
itu membentuk gamet-gamet terjadilah pemisahan alel sehingga gamet hanya
memiliki salah satu alel saja.
d) Jika dominasi nampak sepenuhnya,
perkawinan monohibrid (Bb >< Bb) menghasilkan keturunan yang
memperlihatkan perbandingan fenotip 3 : 1 (yaitu biji bulat : biji berkerut)
dan memperlihatkan perbandingan genotip 1 : 2 : 1 (yaitu BB : Bb : bb).
Kadang-kadang
individu hasil perkawinan tidak didominasi oleh salah satu induknya. Dengan
kata lain, sifat dominan tidak muncul secara penuh. Peristiwa itu menunjukkan
adanya sifat intermediat. Sifat
intermediat dapat dilihat pada penyerbukan silang tanaman bunga pukul empat (Mirabilis jalapa). Jika serbuk sari
berasal dari tanaman homozigot berbunga merah (MM) disilangkan ke putik tanaman
homozigot berbunga putih (mm), semua keturunan F 1 berbunga merah muda (Mm),
(Sembiring dan Sudjino, 2009: 120).
Perhatikan diagram
berikut:
P : MM x
mm
(Merah) (Putih)
Gamet : M m
F1 : Mm
(Merah muda)
F1 x F1 : Mm x Mm
(Merah
muda) (Merah muda)
Gamet : M M
m m

Perbandingan fenotip
merah : merah muda : putih = 1 : 2 : 1
Perbandingan genotip MM
: Mm : mm = 1 : 2 : 1
Berdasarkan
diagram persilangan di atas diperoleh semua tanaman F1 heterozigot berbunga
merah muda (Mm). Warna ini merupakan sifat intermediat (antara merah danputih).
Jika F1 mengadakan penyerbukan sendiri, maka F2 akan memperlihatkan
perbandingan 1 merah : 2 merah muda : 1 putih.
2.
Hukum
II Mendel
Hukum
Mendel II dikenal pula sebagai “Hukum
Asortasi atau Hukum Berpasangan
Secara Bebas”. Menurut hukum ini setiap gen atau sifta dapat berpasangan
secara bebas dengan gen atau sifta lain. Meskipun demikian, gen untuk satu
sifat tidak berpengaruh pada gen untuk sifat yang lain yang bukan alelnya.
Hukum Mendel II ini dapat dijelaskan melalui persilangan dihibrida, (Syamsuri,
2007: 112).
Pada
percobaan berikutnya, Mendel menggunakan persilangan dengan dua sifat beda atau
disebut persilangan dihibrid.
Mendel menggunakan dua sifat beda dari tanaman ercis, yaitu bentuk dan warna
biji. Oleh Mendel, tanaman ercis biji bulat-kuning disilangkan dengan tanaman
ercis biji berkerut-hijau. Hasilnya, semua keturunan F1 berupa tanaman ercis
biji bulat-kuning. Pada persilangan antarindividu F1 didapatkan 16 kombinasi
gen dengan empat fenotip, yaitu tanaman ercis biji bulatkuning, biji
bulat-hijau, biji berkerut-kuning, dan biji berkerut-hijau, (Sembiring dan
Sudjino, 2009: 122).
Misalnya diketahui
gen-gen yang menentukan sifat biji tanaman ercis sebagai berikut:
1) B = gen yang menentukan biji bulat.
2) b = gen yang menentukan biji berkerut.
3) K = gen yang menentukan biji berwarna
kuning.
4) k = gen yang menentukan biji berwarna
hijau
Selanjutnya, perhatikan
diagram persilangan pada Gambar di bawah ini:

Perbandingan
genotip dan fenotip F2 dapat Anda amati dalam Tabel berikut:


Berdasarkan
hasil percobaan di atas, Mendel menarik kesimpulan bahwa gen-gen dari sepasang
alel memisah secara bebas (tidak saling mempengaruhi) ketika terjadi meiosis
selama pembentukan gamet. Prinsip ini dikenal sebagai hukum II Mendel atau dikenal dengan The Law ofIndependent Assortmen of Genes atau hukum Pengelompokan Gen secara Bebas,
(Sembiring dan Sudjino, 2009: 123).
Oleh
karena itu, pada contoh dihibrid tersebut terjadi 4 macam pengelompokan dari
dua pasang gen sebagai berikut:
1) Gen B mengelompok dengan gen K, terdapat
dalam gamet BK.
2) Gen B mengelompok dengan gen k, terdapat
dalam gamet Bk.
3) Gen b mengelompok dengan gen K, terdapat
dalam gamet bK.
4) Gen b mengelompok dengan gen k, terdapat
dalam gamet bk.
Contoh
persilangan dihibrid yang lain, misalnya pada tanaman bunga pukul empat.Tanaman
bunga pukul empat ada yang berdaun lebar (LL) dan ada yang berdaun sempit (II),
dan yang berdaun sedang bersifat heterozigot (Ll). Bunganya ada yang berwarna
merah (MM), ada yang putih (mm), dan ada yang merah muda (Mm). Jika tanaman
berdaun sempit-bunga putih disilangkan dengan tanaman berdaun lebar bunga
merah, tanaman F1 bersifat intermediat berdaun sedang dan berbunga merah muda. Tanaman
F2 akan memperlihatkan 16 kombinasi genotip maupun fenotip dengan perbandingan 1
: 2 : 1 : 2 : 4 : 2 : 1 : 2 : 1.
Contohnya sebagai
berikut:
P : LLMM x llmm
(Lebar, merah) (Sempit, putih)

F1 : LlMm
(Merah muda)
(Intermediet)

Perbandingan genotip
dan fenotip dapat amati dalam Tabel sebagai berikut:

Berdasarkan
beberapa contoh persilangan di atas, ternyata terdapat hubungan antara
banyaknya sifat beda, jumlah gamet, serta kombinasi fenotip dan genotip F2. Sementara
itu, untuk meramalkan atau mengetahui perbandingan fenotip F2 dari suatu hibrid
dapat dicari dengan rumus segitiga Pascal.
Tabel Segitiga Pascal
untuk Mengetahui Perbandingan Fenotipe
Jumlah Ciri
|
Jumlah Macam Gamet F1
|
Kemungkinan Macam Fenotipe F2
|
Perbandingan Fenotipe F2
|
1
2
3
4
5
n
|
21 2
22 4
23 8
24 16
25 43
2n
|
1 1
1 2 1
1 3 3 1
1 4 6 4 1
1 5 10 10 5 1
dan seterusnnya
|
3 : 1
9 : 3 : 3 : 1
27 : 9 : 9 : 9 : 3 : 3 : 3 : 1
81 : 27 : 27 : 27 : 27 : 9 : 9 : 9 : 9
: 9 : 9 : 3 : 3 : 3: 3 : 1
243
... dan seterusnya
3n
: ... dan seterusnya
|
B.
Penyimpangan Semu Hukum Mendel
Setelah
hasil karya Mendel dipublikasikan, banyak ahli yang ikut melakukan percobaan
persilangan. Akan tetapi beberapa percobaan persilangan dengan dua sifat beda
atau lebih terkadang menghasilkan keturunan dengan perbandingan yang tidak
sesuai dengan Hukum Mendel.
Para
ilmuwan melihat adanya penyimpangan terhadap hukum Mendel. Ternyata
penyimpangan ini hanya merupakan penyimpangan semu karena pola dasarnya sama
dengan hukum Mendel tersebut. Perubahan atau penyimpangan yang terjadi meliputi
penyimpangan semu, pautan gen, pautan seks, pindah silang, determinasi seks,
gen letal, dan gagal berpisah (nondisjunction), (Sembiring dan Sudjino, 2009:
129).
Meskipun
hukum Mendel merupakan dasar dari perwarisan sifat, penelitian lebih lanjut
menemukan bahwa banyak gen yang tidak sesuai hukum Mendel. Jika perbandingan
dengan fenotipe F2 hasil persilangan monohibrid dan dihibrid berdasarkan hukum
Mendel adalah 3:1 dan 9:3:3:1, penelitian lain menghasilkan perbandingan F2
yang berbeda.
Misalnya, 9:3:4, 12:3:1, dan 9:7, (Firmansyah, dkk, 2009: 92)
Misalnya, 9:3:4, 12:3:1, dan 9:7, (Firmansyah, dkk, 2009: 92)
Penelitian
lebih lanjut mengungkapkan bahwa hal tersebut disebabkan oleh adanya interaksi
antargen. Interaksi tersebut menghasilkan perbandingan fenotipe yang menyimpang
dari hukum Mendel.
Disebut
penyimpangan semu karena sebenarnya prinsip segregasi bebas tetap berlaku,
tetapi karena gen-gen yang membawa sifat memiliki ciri tertentu, maka
perbandingan ang dihasilkan menyimpang dari Hukum Mendel. Beberapa peristiwa
yang menunjukkan penyimpangan semu di antaranya epistasis dan hipostasis,
kriptomeri, interaksi beberapa pasangan alel, polimeri, serta gen komplementer,
(Syamsuri, 2007: 116).
1.
Epistasis
dan Hipostasis
Epistasis
dan hipostasis merupakan salah satu bentuk interaksi gen dalam hal ini gen
dominan mengalahkan gen dominan lainnya yang bukan sealel. Gen dominan yang
menutup ekspresi gen dominan lainnya disebut epistasis, sedangkan gen dominan yang tertutup itu disebut hipostasis. Peristiwa epistasis dan
hipostasis terjadi pada warna umbi lapis pada bawang (Allium sp.), warna kulit gandum, warna bulu ayam, warna rambut
mencit, dan warna mata pada manusia. Peristiwa epistasis dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu epistasis dominan, epistasis resesif, serta epistasis
dominan dan resesif, (Sembiring dan Sudjino, 2009: 129).
a)
Epistasis
Dominan
Pada
epistasis dominan terdapat satu gen dominan yang bersifat epistasis. Misalnya
warna umbi lapis pada bawang (Allium
sp.). A merupakan gen untuk umbi merah dan B merupakan gen untuk umbi kuning.
Gen merah dan kuning dominan terhadap putih.
Perkawinan
antara tanaman bawang berumbi lapis kuning homozigot dengan yang merah
homozigot menghasilkan tanaman F1 yang berumbi lapis merah. Keturunan F2
terdiri atas 16 kombinasi dengan perbandingan 16/12 merah : 16/3 kuning : 16/1
putih atau 12 : 3 : 1.
Perbandingan
itu terlihat menyimpang dari hukum Mendel, tetapi ternyata tidak. Perbandingan
9 : 3 : 3 : 1 untuk keturunan perkawinan dihibrid hanya mengalami modifikasi
saja, yaitu 9 : 3 : 3 : 1 menjadi 12 : 3 : 1.
Gen
A epistasis terhadap gen B dan gen b. Genotip aabb menghasilkan umbi lapis
putih. Perhatikan diagram persilangan berikut:
P : ♀Aabb x ♂aaBB

F1 : AaBb
(Merah)
F2 : 9 A_B_ : Umbi lapis merah
3 A_bb : Umbi
lapis merah
3 aaB_ : Umbi lapis
kuning
1 bbbb : Umbi lapis
putih
b)
Epistasis
Resesif
Pada
peristiwa epistasis resesif terdapat suatu gen resesif yang bersifat epistasis terhadap
gen dominan yang bukan alelnya (pasangannya). Gen resesif tersebut harus dalam
keadaan homozigot, contohnya pada pewarisan warna rambut tikus. Gen A
menentukan warna hitam, gen a menentukan warna abu-abu, gen C menentukan enzim
yang menyebabkan timbulnya warna dan gen c yang menentukan enzim penghambat
munculnya warna. Gen C bersifat epistasis. Jadi, tikus yang berwarna hitam
memiliki gen C dan A, (Sembiring dan Sudjino, 2009: 130).
Perhatikan diagram
persilangan berikut:
P : CCAA x
ccaa
(Hitam) (Putih)
Gamet : CA Ca
F1 : CcAa
F2 :
Diperoleh perbandingan genotipe sebagai berikut:
9 C_A_ :
Hitam
3 C_aa :
Abu-abu
3 ccA_ : Putih
1 ccaa : Putih
Jadi, perbandingan
fenotip F2 = hitam : abu-abu : putih = 9 : 3 : 4.
Pada epistasis resesif,
CC epistasis terhadap A dan a.
c)
Epistasis
Dominan dan Resesif
Epistasis
dominan dan resesif (inhibiting gen) merupakan penyimpangan semu yang terjadi
karena terdapat dua gen dominan yang jika dalam keadaan bersama akan menghambat
pengaruh salah satu gen dominan tersebut. Peristiwa ini mengakibatkan
perbandingan fenotip F2 = 13 : 3. Contohnya ayam leghorn putih mempunyai
fenotip IICC dikawinkan dengan ayam white silkre berwarna putih yang mempunyai
genotip iicc.
Perhatikan diagram
berikut:
P : ♂IICC x ♀iicc
(Putih) (Putih)
G : IC ic
F1 : IiCc

Catatan:
C = gen yang
menghasilkan warna.
c = gen yang tidak
menghasilkan warna (ayam menjadi putih).
I = gen yang
menghalang-halangi keluarnya warna (gen ini disebut juga gen penghalang atau
inhibitor).
i = gen yang tidak
menghalangi keluarnya warna.
I
epistasis terhadap C dan c. cc epistasis terhadap I dan i. Coba perhatikan
diagram hasil persilangan F1 di atas. Meskipun gen C mempengaruhi munculnya
warna bulu, tetapi karena bertemu dengan gen I (gen yang menghalangi munculnya
warna), maka menghasilkan keturunan dengan fenotip ayam berbulu putih. Jadi,
perbandingan fenotip:
F2 = ayam putih : ayam
berwarna
= 13/16 : 3/16 = 13 : 3
2.
Kriptomeri
Kriptomeri
adalah peristiwa gen dominan yang seolaholah tersembunyi bila berada bersama
dengan gen dominan lainnya, dan akan terlihat bila berdiri sendiri.
Correns pernah
menyilangkan tumbuhan Linaria maroccana
berbunga merah galur murni dengan yang berbunga putih juga galur murni. Dalam
persilangan tersebut diperoleh F1 semua berbunga ungu, sedangkan F2 terdiri atas
tanaman dengan perbandingan berbunga ungu : merah : putih = 9 : 3 : 4.
Warna
bunga Linaria (ungu, merah, dan
putih) ditentukan oleh pigmen hemosianin yang terdapat dalam plasma sel dan
sifat keasaman plasma sel. Pigmen hemosianin akan menampilkan warna merah dalam
plasma atau air sel yang bersifat asam dan akan menampilkan warna ungu dalam
plasma sel yang bersifat basa, (Sembiring dan Sudjino, 2009: 131).
Warna bunga Linaria
maroccana ditentukan oleh ekspresi gen-gen berikut:
1) Gen A, menentukan ada bahan dasar pigmen
antosianin.
2) Gen a, menentukan tidak ada bahan dasar
pigmen antosianin.
3) Gen B, menentukan suasana basa pada
plasma sel.
4) Gen b, menentukan suasana asam pada
plasma sel.
Persilangan
antara Linaria maroccana bunga merah dengan bunga putih menghasilkan keturunan
seperti dijelaskan pada diagram berikut:
P : Aabb x aaBB
(Merah) (Putih)
G : Ab Ab
F1 : AaBb
(Ungu)

Persilangan tersebut
dihasilkan rasio fenotip:
F2 = ungu : merah :
putih = 9 : 3 : 4.
3.
Interaksi
Beberapa Pasangan Alel (Atavisme)
Pada
permulaan abad ke-20, W. Baterson dan
R.C. Punnet menyilangkan beberapa varietas ayam negeri, yaitu ayam
berpial gerigi (mawar), berpial biji (ercis), dan berpial bilah (tunggal). Pada
persilangan antara ayam berpial mawar dengan ayam berpial ercis, menghasilkan
semua ayam berpial sumpel (walnut) pada keturunan F1.

Varietas
ini sebelumnya belum dikenal. Pada keturunan F2 diperoleh empat macam fenotip,
yaitu ayam berpial walnut, berpial mawar, berpial ercis, dan berpial tunggal
dengan perbandingan 9 : 3 : 3 : 1. Perbandingan ini sama dengan perbandingan F2
pada pembastaran dihibrid, (Sembiring dan Sudjino, 2009: 132).
Perhatikan diagram
persilangan di bawah ini:

Berdasarkan
diagram persilangan tersebut terdapat penyimpangan dibandingkan dengan persilangan
dihibrid. Penyimpangan yang dimaksud bukan mengenai perbandingan fenotip,
tetapi munculnya sifat baru pada F1 dan
F2. Keturunan F1 berfenotip ayam berpial walnut atau sumpel, tidak menyerupai
salah satu induknya. Sifat pial sumpel atau walnut (F1) merupakan interaksi dua
faktor dominan yang berdiri sendiri-sendiri dan sifat pial tunggal (F2) sebagai
hasil interaksi dua faktor resesif.
4.
Polimeri
Polimeri
adalah pembastaran heterozigot dengan banyak sifat beda yang berdiri
sendiri-sendiri, tetapi mempengaruhi bagian yang sama pada suatu organisme.
Peristiwa polimeri pertama kali dilaporkan oleh Nelson-Ehle, melalui percobaan persilangan antara gandum berbiji
merah dengan gandum berbiji putih, (Sembiring dan Sudjino, 2009: 133).
Elson Ehle membuktikan polimeri ketika menyilangkan gandum kulit
merah dengan kulit putih. Generasi F1 hasil perbandingan tersebut menghasilkan
100% gandum kulit merah. Persilangan F 1 menghasilkan generasi F2 dengan
perbandingan kulit merah dan putih sebesar 15:1. Dari perbandingan tersebut
dapat diduga bahwa persilangan yang dilakukan merupakan persilangan dihibrid.
Perbandingan 15 : 1 merupakan modifikasi dari hukum Mendel
mengenai persilangan dihibrid, yang dhasilkan dari modifikasi perbandingan
(9+3+3) : 1. Penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa gen pembawa sifat
merah adalah dominan dan terdapat dua pasang alel yang menentukan sifat kulit
merah. Perhatikan persilangan berikut, (Firmansyah, dkk, 2009: 95).
Perhatikan diagram
persilangan berikut:
P1 : ♀M1M1M2M2 x ♂ m1m1m2m2
(Merah) (Putih)
G : M1M2 m1m2
F1 : ♀M1m1M2m2
(Merah)
P2 : ♀M1m1M2m2 x ♂M1m1M2m2

Berdasarkan diagram di
atas dihasilkan perbandingan genotip F2 sebagai berikut:
9 M1_M2_ = merah 3 m1m1M2_
= mera
3 M1_m2m2 = merah 1
m1m1m2m2 = putih
Jadi, polimeri
menghasilkan rasio fenotip F2 = merah : putih = 15 : 1.
5.
Gen
Komplementer
Gen
komplementer adalah gen-gen yang berinteraksi dan saling melengkapi. Kehadiran
gen-gen tersebut secara bersama-sama akan memunculkan karakter (fenotip)
tertentu. Sebaliknya, jika salah satu gen tidak hadir maka pemunculan karakter
(fenotip) tersebut akan terhalang atau tidak sempurna. Perhatikan contoh
berikut. Pemunculan suatu pigmen merupakan hasil interaksi dua gen, yaitu gen C
dan gen P, (Sembiring dan Sudjino, 2009: 134).
Gen C : mengakibatkan
munculnya bahan mentah pigmen.
Gen c : tidak
menghasilkan pigmen.
Gen P : menghasilkan
enzim pengaktif pigmen.
Gen p : tidak mampu
menghasilkan enzim.
Perhatikan
persilangan yang menunjukkan adanya gen komplementer antara individu CCpp
(putih) dengan individu ccPP (putih) pada diagram berikut:
P : CCpp x ccPP
(Putih) (Putih)
G : Cp Cp
F1 : CcPp
(Ungu)

Jadi,
rasio fenotip F2 adalah 9 ungu : 7 putih.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan di atas mengenai hukum Mendel I dan hukum Mendel II beserta
penyimpangan semu dari hukum Mendel tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1.
Gregor Johann Mendel merupakan orang yang pertama kali melakukan
penelitian mengenai pola pewarisan sifat, dengan meneliti tanaman ercis.
Oleh karena itu, ia dinobatkan sebagai bapak genetika.
2.
Persilangan dua individu yang mempunyai sifat beda disebut
hibrid. Terdapat beberapa macam hibrid di antaranya, yaitu monohibrid (suatu
hibrid dengan satu sifat beda) dan dihibrid (suatu hibrid dengan dua sifat
beda).
3.
Hukum I Mendel dikenal sebagai Hukum Segregasi (pemisahan gen
yang sealel) yaitu perkawinan organisme dengan hanya memperhatikan satu sifat
beda (monohibrid), adanya gen dominan dan
resesif, serta setiap pasangan gen terpisah selama meiosis, yang akan menghasilkan perbandingan 3 : 1.
4.
Hukum II Mendel atau Hukum Pengelompokan Gen Secara Bebas
merupakan persilangan dihibrid yaitu perkawinan individu dengan memperhatikan
dua sifat beda, kedua gen untuk setiap ciri
akan mengelompok secara bebas, akan
menghasilkan perbandingan 9 : 3 : 3 : 1.
5.
Selain pola yang telah dijelaskan Mendel, para ilmuwan juga
menemukan bahwa terdapat pola lain yang hasil perbandingannya tidak sesuai dengan
hukum Mendel. Namun, setelah diteliti lebih lanjut ternyata hanya berupa
penyimpangan semu saja. Contohnya, epistasis-hipotasis, kriptomeri, polimeri,
dan adanya gen komplementer.
6.
Penyimpangan semu hukum Mendel yaitu penyimpangan pola dasar
yang dikemukakan dalam hukum Mendel, tetapi sebenarnya merupakan modifikasi
hukum Mendel.
7.
Epistasis dan hipostasis merupakan salah satu bentuk interaksi
gen, dalam hal ini gen dominan mengalahkan gen dominan lainnya yang bukan
sealel.
8.
Kriptomeri adalah peristiwa gen dominan seolah-olah tersembunyi
bila berada bersama dengan gen dominan lainnya, dan akan terlihat bila berdiri
sendiri.
9.
Atavisme merupakan peristiwa munculnya sifat baru pada F1 dan
F2.
10. Polimeri adalah
pembastaran homozigot dengan banyak sifat beda yang berdiri sendiri-sendiri
tetapi mempengaruhi bagian yang sama pada suatu organisme.
11. Gen komplementer adalah
gen-gen yang berinteraksi dan saling melengkapi.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell,
Neil A, dkk. 2002. Biologi Edisi Kelima
Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Firmansyah,
Rikky, dkk. 2009. Biologi. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Kistinnah,
Idun dan Endang Sri Lestari. 2009. Biologi.
Jakarta: Departemen Pendiidkan Nasional.
Sembiring,
Langkah dan Sudjino. 2009. Biologi.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Syamsuri,
Istamar, dkk. 2007. Biologi. Jakarta:
Erlangga.